Teringat sewaktu saya masih jadi mahasiswa S1 tingkat pertama, selain kuliah kesibukan saya yang lain adalah ikut beberapa organisasi intra dan ekstra kampus. Ada setidaknya 3 organisasi yang saya ikuti secara aktif ketika itu. Rasanya terkadang, kegiatan kuliah adalah rehat bagi tubuh dan pikiran. Jika kuliah per semester dihitung dalam bilangan 20-24 SKS, mungkin kegiatan saya di organisasi juga sebesar itu.

Tapi di sini saya bukan ingin bernostalgia dan menjelaskan panjang lebar tentang masa “remaja” saya dulu. Seperti yang tertera sebagai judul tulisan ini, saya ingin melanjutkan membahas tentang mediatisasi. Sedikit perbandingan kehidupan saya ketika awal menjadi mahasiswa dan saat ini akan menjadi pengantar dalam tulisan ini. Yang mana antara keduanya terpaut jarak sekitar 6 tahun. Teknologi komunikasi pun sudah melesat sangat cepat. Begitu pula dengan mediatisasi kehidupan manusia.

Di masa awal 2010 itu, HP yang saya gunakan tentunya bukan smartphone. Hanya sebuah model jadul HP Nokia yang bisa digunakan untuk SMS dan telepon saja. Tidak ada aktivitas ngobrol di grup-grup virtual selama berjam-jam seperti yang sekarang kita lakukan di WA, Line, Telegram, dan kawan-kawannya. Jadi, semua keputusan yang perlu diketuk atau dirumuskan dalam organisasi kami misalnya, harus melalui kopi darat para anggotanya. Hanya sesekali dan jika sangat sulit untuk berkumpul, kami mengadakan rapat virtual via message conference di Facebook. Itu pun harus beranjak dulu ke warnet dekat kost-an. Hoho.

Dibandingkan dengan sekarang, menurut saya kondisinya sudah sangat berbeda. Seiring boomingnya alat komunikasi baru bernama smartphone. Tentunya setelah dilengkapi beragam aplikasi komunikasi yang jumlahnya kini tak terhitung lagi. Salah satu yang berubah misalnya, di tahun pertama dan kedua kuliah setiap kali musim lebaran HP Nokia jadul saya masih diberondong ratusan ucapan hari raya dari nomor-nomor teman secara individual via SMS (waktu itu belum ada istilah japri, ya kalau sekarang bisa dibilang japri). Hingga sehari sebelum lebaran dan di hari H harus menghadapi sinyal hilang karena jaringan yang crowded. Setahun kemudian, setelah WA mulai marak di bumi Indonesia, jumlah kiriman ucapan lebaran via SMS itu menurun sangat drastis. Dari yang sebelumnya ratusan, tinggal bisa dihitung jari -tangan ditambah sedikit jari kaki-. Hingga ke tahun-tahun berikutnya ucapan via SMS itu sama sekali tidak ada lagi. Ya, karena moda komunikasi via HP sudah berubah ke bentuk grup-grup aplikasi, seperti WA dan teman-temannya tadi.

Perubahan moda komunikasi dari SMS menjadi grup-grup aplikasi itu tentu hanya segelintir bagian dari kemelesatan teknologi komunikasi dalam kurun waktu setengah dekade terakhir. Namun, efeknya menurut saya sudah cukup besar. Dulu, untuk menjalani kehidupan perkuliahan ditambah 3 organisasi saja saya terkadang merasa waktu 24 jam tidak cukup. Karena mobilitas yang padat untuk me-rapat-kan ini itu, yang sebagian besarnya mesti bertemu langsung. Tapi sekarang, apa yang terjadi?

Saat ini misalnya di akun WA saya, terisi tidak kurang dari 35 grup yang pernah terhitung oleh saya dahulu. Sepertinya jumlahnya sudah mencapai 40-an saat ini. Memang tidak semuanya adalah grup yang aktif, sebagian ada yang seperti rumah hantu dipenuhi sarang laba-laba karena jarang dijamah atau disenggol para member-nya. Namun, sebagian lagi berjalan produktif dan efisien. Misalnya, saya pernah tergabung di grup yang anggotanya berasal dari seluruh Indonesia. Pembentukan grup yang berupa sebuah komunitas dengan tujuan jelas itu pun diawali dari registrasi via internet. Gerakan yang diusung oleh grup itu secara kontinyu ke depan juga akan dilakukan dalam wahana media online. Sesekali dirancang kopdar untuk para anggotanya, tentunya dalam cakupan provinsi masing-masing.

Kemudian saya tersadar, sungguh teknologi telah sangat memudahkan kita menciptakan banyak hal “baru”. Hingga pergerakan yang bahkan mengumpulkan sumber daya dari satu negara. Dari satu negara saja bisa, apalagi entitas-entitas yang lebih kecil. Bagaimana arah, tujuan, dan bentuk gerakan komunitas itu pun nyaris tidak terbatas. Tergantung pada masing-masing pencipta dan pengikutnya. Saya sendiri pernah menggagas sebuah komunitas literasi media yang seluruh aktivitasnya dilakukan di dunia maya. Yaitu, dalam bentuk diskusi virtual tiap pekan. Anggotanya juga berasal dari beberapa provinsi di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Papua, hingga luar negeri. Kami sempat berjalan aktif selama satu tahun. Sayangnya, saat ini sedang mati suri karena beberapa hal yang menghadang. Oke, kalau diteruskan malah jadi curhat.

Masih ada sekian lagi sebenarnya grup-grup lain dengan berbagai macam gerakannya yang saya ikuti di WA. Pun hal serupa mungkin terjadi pada Anda. Untuk perihal ini saya setuju mengatakan bahwa perkembangan teknologi dan mediatisasi kehidupan kita telah memberi peluang produktivitas yang meningkat berkali-kali lipat. Lebih tepatnya, efisiensi kerja-kerja produktif. Contoh kasarnya, partisipasi di organisasi/komunitas. Semula dengan moda komunikasi SMS saya hanya mampu mengikuti sekitar 3 organisasi, kini jumlahnya bisa bertambah hingga 5-10 kali lipat setelah adanya WA. Selain karena awal pembentukan grup/komunitas/organisasi/apa pun itu yang kian lebih mudah, mobilisasi yang kita butuhkan untuk pindah tempat, harus bertemu untuk membahas ini itu pun kian memudar. Tergantikan dengan fasilitas yang diberikan dalam segenggam telepon pintar. Hanya bermodal ketukan jari dan tubuh yang bisa bebas di mana pun dalam posisi apa pun.

Pertanyaan selanjutnya muncul, apakah mediatisasi hanya menghasilkan produktivitas semata? Apa titik ekstrem dari sisi negatifnya? Tentang hal ini, akan saya lanjutkan di tulisan bagian ketiga.

 

Bantul, 29 November 2016

23.43 Waktu Indonesia Bantul

 

Featured Image: Google