The notion of digital labour signifies that the time spent on Facebook and other corporate platforms is not simple consumption or leisure time, but productive time that generates economic value… The emergence of social media is an expression of the changes between labour time and leisure time that have been conceptualized with terms such as digital labour, prosumption, consumption labour and play labour.” (Fuchs, 2013)

#throwbackmythesis

Sewaktu dan beberapa pekan selepas tesis -untuk yang ke sekian kali- saya sempat sangat skeptis pada medsos. Enggan menjamah dunia maya karena dicekoki dengan berbagai teori “kapitalisme era prosumer” yang terinternalisasi di dalamnya lalala lilili.

*Sampai mengikuti hype beberapa video YouTube tentang orang-orang yang hidup modern di zaman sekarang, namun sengaja menghindar dari smartphone dan satu pun media sosial. Ya, mereka masih bisa hidup.*

Merujuk kepada berbagai jurnal -salah satunya yang terkutip di atas- kita bukan sekadar bermain dan bersosialisasi melalui status dan komentar, namun secara tidak sadar ikut dipekerjakan. #wuuuuuu-uuu-uu-u. Yang mana pundi-pundi keuntungan terbesar tentunya dikuasai pemilik platform-platform media baru. Mengalir deras “from every single click“. Hegemoni kapitalisme semakin canggih memanipulasi, lewat blur-nya batas-batas bekerja dan bersantai (labor and leisure). #MasyaAllahjargonnya

Google dan Facebook masih menjadi dua korporasi raksasa yang belum tertandingi. Lalu, ke mana saja aliran keuntungan mereka? Wallahu a’lam.

Teringat perkataan Teh Imun saat kami bertemu beberapa pekan lalu, “Teteh nggak pernah pakai medsos buat iseng. Harus jelas dampaknya untuk kebermanfaatan yang lebih besar.”

Tampaknya hal itu harus selalu kita ingat sebelum menyentuhkan jari di kolom status, komentar, dan caption. Di dalam agama Islam pun sudah begitu sering kita dengar sebuah hadits masyhur, “Berkatalah yang baik atau diam.” Sayangnya kita sering lupa saat berkata di media.

Padahal, dunia lisan kita saat ini memang telah berubah era menjadi “kelisanan kedua”. Yaitu, tidak lagi didominasi oleh kata-kata yang keluar dari mulut, namun juga multimedia.

Bagi saya, perlu sangat selektif membuat postingan di media sosial. Bukan status iseng, bukan sembarang komentar untuk haha-hihi dan bercanda ria hingga lupa batasnya. Apalagi menyebar hate speech dan hoax. Berapa lapis ruginya? Ratusaaan~~~ *iklanjamanbaheulak

Namun, postingan yang jelas kebermanfaatannya. Apakah untuk jualan online (kita pun kecipratan untungnya, ada upaya berkontestasi, mengkapitalisasi balik) atau pesan-pesan mengandung kebaikan.

Di samping itu, PR besar nan panjang kita untuk mulai memikirkan platform media baru milik sendiri. Apakah itu? Mungkin cucu saya generasi xxx yang bisa menjawabnya. Setidaknya kita kebagian membuat fondasi. Sekukuh-kukuhnya.

Atau kelak takdir lain Allah tetapkan bagi dunia, seperti kembali ke zaman dahulu kala? #pertanyaaniseng

Foto: dokumen pribadi

 

Bantul, 24 September 2018