Pertama kali mengenal bahasa kode, saya masih SD. Yaitu, dari mengikuti ekskul Pramuka. Saat itu kode lebih familiar dengan sebutan sandi. Ada banyak sandi yang diajarkan. Beberapa yang saya ingat di antaranya, sandi morse, sandi A-N, dan sandi rumput. Saat itu –sampai sekarang sih- saya tidak tahu dan tidak bertanya apa gunanya belajar sandi.

Konon, sandi-sandi di dalam film bisa berguna untuk menyembunyikan informasi rahasia dari pihak lawan. Tapi, sandi A-N dan sandi rumput misalnya, terlalu sederhana untuk itu. Semua anak Pramuka pun sepertinya tahu, lalu di mana fungsi rahasianya? Sandi-sandi itu nyatanya lebih sering saya dan teman-teman SD saya gunakan untuk surat-suratan di kelas, sehingga aman dari guru –yang nggak bisa baca sandi-. Saya memang mantan anak Pramuka super amatiran.

Lalu, ketika SMA saya kembali mengenal bahasa kode. Namun, dalam bentuk berbeda. Yakni, pada pelajaran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi, FYI). Di situ kami diajari bahasa pemrograman atau coding. Caranya dengan memakai beberapa software seperti turbo pascal, delphi, ulead, dan entah apa lagi saya lupa. Dari salah satu software itu –kalau nggak salah ulead atau yang lain hehe– saya bisa membuat animasi ulat bergerak-gerak dengan memasukkan bahasa kode tertentu.

Berikutnya, memasuki masa kuliah saya masih menemui istilah kode-kodean. Ya, kode yang itu. Yang sering kamu lakukan… iya kamu… bukan ke aku sih… haha. Yaitu semacam kode dari seseorang ke orang lain –yang (biasanya) lawan jenis- yang di-bribik-nya (bingung cari istilah bahasa Indonesa-nya). Tema ngode-ngode yang begitu dulu sangat santer ketika S1, terutama semester awal. Pun terbit banyak sekali meme dan artikel terkait. Sampai jika ada yang perhatian sedikit dibilang ngode. Jadi serba salah.

Namun, seiring menuanya usia, alias saat memasuki tahun-tahun akhir perkuliahan, nampaknya teman-teman saya mulai lelah dengan tema itu. Suatu hari ada seorang teman laki-laki yang ‘dituduh’ cieee si anu ngode si inu nih ye… (or something like that) dengan lantang dia membalas, “Jaman sekarang masih ngode? Gak laki!” Hmm..hmm.. saya setuju dalam hati. Such a good answer, bro.

Ya, di lain sisi, silakan saja me-ngode. Itu adalah hak segala bangsa. Kadang juga berakhir bahagia, kalau diletakkan pada cara, saat, dan tempat yang tepat. Tapi dia ibarat garam. Kalau kelebihan bikin pait masakan. Kalo perasaan? Bisa jatuh banyak korban, atau malah senjata makan tuan. Orang yang melancarkan kode itu kan, biasanya belum punya keberanian untuk melangkah pada status yang jelas. Atau sudah mencoba nembak si dia, tapi gagal dan melancarkan jargon ‘coba lagi’ sehingga masih ‘ngode lagi’. Fiyuh, kasihan. Wis tho mending cari target lain dan segera datengi bapaknya, siapa tahu langsung oke karena si cewek* luluh dengan ketegasan dan keberanianmu*…. *syarat dan ketentuan berlaku hehe

Baru-baru ini, saya pun melihat praktik kode lainnya. Yang hampir serupa tapi tak sama dengan bahasa ngode sebelumnya. Yang langsung digulirkan oleh orang nomor 1 di negeri kita. Siapa lagi kalau bukan bapak presiden. Yang berkata bahwa aksi 4 November ditunggangi aktor politik. A, B, C, sampai Z pun mungkin tak cukup, banyak sekali macam komentar setelahnya. Sementara sang bapak langsung bubar setelah mengeluarkan pernyataan itu, tanpa meninggalkan sedikit bukti untuk dicerna.

Dan masyarakat terpecah, ada yang sakit hati atas ucapan sang bapak, ada yang setuju didukung konstruksi kabar-kabar seliweran di media sosial, ada yang tak acuh karena lebih ingin memikirkan hajat hidup yang lain, ada pula yang menganggapnya sebagai sebuah pesan simbolik tentang panggilan kepada yang cerdas memahami pesan sepekanan sebelumnya.

“Maka, di sinilah Tuan Presiden menjalin komunikasi, memberitahukan kepada rakyat. Siapa yang mengendalikan dirinya dan seolah menyampaikan pesan bahwa inilah yang membuatnya tidak pernah perkasa dalam arti sesuai kepribadian utuhnya; bukan hasil sebuah operasi drama dan polesan citra.” (Pak YM, 2016)

Terkadang, yang sering berkode memang patut diberi iba.

 

 

Bantul, 20 November 2016

21.45 Waktu Indonesia Bantul

 

Featured Image: Google