Society of the society is communication. Masyarakat dari masyarakat adalah komunikasi.” (Bu Hermin—Dosen Ekonomi Politik Media) *

Sembari bernafas, setelah makan nasi bebek dan lemon tea, kali ini saya sedang berpikir. Sedikit merenung tepatnya. Yakni tentang betapa pentingnya komunikasi. Ya, saya akui salah satunya tersebab kuliah Ekonomi Politik Media selama empat jam full hari ini. Cukup menguras energi memang, tapi Bu Hermin -seperti biasa- dengan baik hati menyuguhkan kacang rebus, pisang rebus, dan air mineral gelas kepada kami. Karena beliau juga saya jadi teringat kutipan di pembuka tulisan ini yang pernah Bu Hermin sampaikan di pertemuan kuliah yang lain.

Selain kuliah Ekopol, ada satu kejadian lagi yang berpengaruh ke dalam perenungan saya saat ini. Seperti biasa, setiap Senin sore saya berkumpul bersama beberapa kawan untuk membahas karya dan mendiskusikan apa pun terkait kepenulisan. Kami menamakan diri Klub Senin. Sebuah nama yang jujur dan gak neko-neko sekali, ya? Hehehe. Siapa dulu yang ngasih nama… Bukan saya. #Hiho. Hari ini kami membahas sebuah puisi. Hasil karya salah seorang kawan yang juga hadir. Setelah masing-masing memberi komentar terhadap karya sang penulis, obrolan kami berlanjut kepada interpretasi puisi.

Mengapa ya ada puisi yang mudah dipahami dan ada yang sangat sulit? Mengapa juga ada penulis yang membuat puisi mudah ditangkap maksud pesannya oleh pembaca, sementara ada yang sengaja membuat pembaca melakukan berbagai ragam penafsiran? Apakah salah membuat puisi yang sulit dipahami maknanya? Ataukah salah membuat puisi yang terlalu mudah dipahami?

Akhirnya diskusi kami sampai pada simpulan tentang tujuan penulisnya sendiri. Tidak ada yang salah antara puisi yang mudah dipahami atau sebaliknya. Kuncinya terletak pada tujuan sang penulis. Mungkin dia ingin membuat puisi hanya sebagai sarana meluapkan perasaan atau emosi jiwa yang sedang dirasakan. Mungkin dia merasa emosi itu tidak sewajarnya diketahui pihak lain. Maka, tidak salah jika dia bermaksud mengalamatkan puisi itu hanya kepada dirinya sendiri. Sehingga, terciptalah rangkaian diksi yang sulit dipahami orang lain, karena itu bisa jadi tujuan sang penulis. Justru tujuannya akan gagal ketika banyak yang dapat menangkap makna yang sebenarnya dia sembunyikan.

Sebaliknya, untuk puisi yang mudah dipahami, mungkin sang penulis memiliki tujuan agar ideologi puisi tersebut dapat ditangkap oleh sebanyak-banyaknya manusia. Maka, tidak salah membuat puisi dengan diksi-diksi yang sering kita jumpai sehari-hari. Justru tujuan sang penulis akan gagal jika ideologi yang dia tambatkan pada puisi tidak dapat ditangkap khalayak. Untuk golongan kedua ini, saya teringat puisi-puisi karya Taufik Ismail. Betapa nyaman membaca puisi beliau yang notabene dirangkai dari kata-kata sederhana, namun memiliki pesan yang sangat kuat. Hal ini juga membuka pandangan saya bahwa seorang sastrawan mendunia pun tak mesti menggubah karya dengan diksi-diksi “sulit”.

Ah, saya bukan orang sastra. Tidak pernah belajar sastra sama sekali dari meja akademis. Setidaknya ini hanya segelintir pemikiran saya sebagai awam yang menyenangi sastra, terutama puisi.

Puisi membawa sebongkah misi sang penulis. Baik misi bagi umat sedunia, sebagiannya, atau pun ruang sendirinya saja. Di baliknya ada tujuan, pesan, dan ideologi. Berbicara mengenai ketiganya, satu kata yang terlintas dalam kepala saya adalah komunikasi. Puisi adalah juga bagian dari jenis-jenis komunikasi. Inti dari komunikasi yang paling sering dipahami adalah proses penyampaian pesan. Meski jika ditinjau dari perspektif cultural studies didapatkan esensi yang berbeda, komunikasi dalam perspektif ini bisa dipahami sebagai bagian dari ritual atau sekadar aktivitas kultural sehari-hari. Yang mana komunikasi di sini dapat menjadi pemulus atau penghancur kebudayaan yang terjadi antar manusia (versi sotoy-nya Uti).

Komunikasi dengan kata lain adalah jembatan penentu hubungan antar manusia. Komunikasi memandu kita hingga timbul rasa cinta, benci, atau di tengah-tengahnya, kepada seseorang atau sekelompok orang. Dengan kata lain pula, kita dapat memutuskan untuk dibenci, dicintai, atau di tengah-tengahnya, oleh orang lain lewat komunikasi yang kita bangun. Kita juga dapat menunjukan bahwa kita membenci, mencintai -atau di tengah-tengahnya- orang lain lewat komunikasi yang kita lakukan.

Membenci, mencintai -atau di tengah-tengahnya- orang lain dapat kita upayakan dengan menyampaikan pesan/informasi sebijaksana mungkin baik dalam hal jumlah/banyak/intensitasnya maupun cara penyampaiannya. Terkadang yang paling bijak adalah dengan porsi informasi yang sedikit, tapi terkadang yang paling bijak juga berupa porsi informasi yang cukup banyak. Terkadang yang paling bijak adalah dengan cara berkata santun-halus, terkadang yang paling bijak adalah dengan pembawaan penuh wibawa, tapi terkadang yang paling bijak juga berupa saling canda, meledek, hingga mem-bully. Meski bagi saya komunikasi tidak terbatas pada kemampuan bicara, tapi bahkan bisa melalui 5 indera yang dikaruniakan kepada manusia. Antara jumlah dan cara komunikasi bagi saya adalah dua faktor yang saling terkait dan tidak terpisah. Sehingga perlu mempertimbangkan keduanya dalam satu waktu.

Akhirnya, jangan lupakan unsur-unsur penting komunikasi setelah memutuskan hubungan seperti apa yang ingin kita bangun dengan pihak lain. Meski dalam prosesnya akan banyak dinamika hubungan yang terjadi. Mengontrolnya kembali pun saya rasa tetap dengan memainkan unsur-unsur komunikasi.

*Miyane, saya lupa beliau mengutip darimana

 

Gambar: Google Picture

 

Bantul, 3 April 2017

23.46