(Tentang pengalaman saya mengikuti seleksi calon reporter Republika)

 

20 Agustus 2014

Sehari setelah wisuda sarjanaku, aku memasukkan berkas-berkas ke kantor Republika Jogja. Hari itu juga merupakan hari terakhir pengumpulan berkas pendaftaran sebagai calon reporter.

7 September 2014

Setelah penantian cukup lama, aku mendapat panggilan (via telepon) untuk melanjutkan seleksi ke tahap wawancara.*hati bimbang* *baca alasannya di kisahku “Lihat Cara-Nya Membolak Balik Hati”*

9 September 2014

Aku mengikuti tes wawancara di kantor Republika Yogyakarta. Jalan Perahu No.14, Kota Baru. Ada belasan pelamar lain yang juga menjalani tahap ini. Aku lupa jumlah pastinya. Kami hampir 20 orang. Masing-masing orang menjalani wawancara selama 30-45 menit.

Pertanyaan yang diajukan sebagian besar untuk melihat kesungguhan dan komitmen kami menjadi seorang jurnalis. Misalnya, “Lulusan arsitektur kenapa mau jadi wartawan?” Lalu, “ Berapa lama ingin bekerja sebagai jurnalis?” Aku menjawab, “Sekitar dua atau tiga tahun.” Kemudian datang pertanyaan lanjutan, “Kalau ternyata dibutuhkan lima bahkan sepuluh tahun bagaimana? Kami butuh orang yang memang punya passion kuat di sini. Kami tidak mau Anda salah pilih dan buang-buang waktu di sini. Kami juga tidak mau salah pilih orang. Gimana tanggapanmu tentang hal ini?”

Begitu gambarannya, jadi siapkan niat yang lurus dan tekad yang kuat sebelum ikut tes wawancara calon jurnalis. Bukan asal coba atau iseng-iseng berhadiah. Pekerjaan apa pun juga begitu.

12 September 2014

Pelamar di tahap wawancara mulai berguguran. Hari itu aku mengikuti tes TOEFL hanya bersama tiga orang lainnya yang juga lolos tahap wawancara. Wew.. Banyak juga yang gugur, pikirku waktu itu. Tapi ternyata, di kemudian hari aku tahu, sebenarnya yang lolos tahap wawancara ada tujuh orang. Tiga mengundurkan diri. Salah satunya sudah diterima di harian K*mpas bahkan sejak ia belum mengikuti tahap wawancara bersama kami.

Tes TOEFL dilakukan di Primagama English Jl. Godean km. 5.Tidak berbeda dengan tes TOEFL tertulis biasa. Hasil TOEFL langsung diserahkan ke pihak Republika, jadi kami hanya tes saja tanpa tahu hasilnya.

15 September 2014

Aku bersama tiga orang lainnya yang sama-sama ikut tes TOEFL menjalani tes selanjutnya, yaitu tes TPA. Tempatnya di BPP SDM Kalimasada, daerah Terban. Tes ini ternyata memakan waktu paling lama. Tidak seperti dugaanku sebelumnya. Kami mulai tes pukul 09.30 dan selesai pukul 12.30. Ternyata belum selesai. Setelah itu masing-masing kami harus melanjutkan wawancara dengan seorang psikolog. Psikolog yang sangat.. ehmm.. kepo, jangan kaget mendapat banyak pertanyaan yang bersifat pribadi. Waktu wawancara untuk masing-masing orang yakni 30-45 menit.

Walaupun paling panjang, tes kali ini paling berkesan bagiku. Kali ini aku jadi sempat berkenalan dan mengobrol cukup banyak dengan tiga pelamar yang lain. Sebelumnya, nama mereka pun aku belum tahu. Mbak W, H, dan I. Itulah inisial nama mereka :p Aku menemukan beberapa fakta menarik dari hasil mengobrol dengan sedikit niat mengepo. Kenapa mengepo? Ya, awalnya karena aku ingin tahu motivasi para calon reporter yang tangan-tangannya akan mewarnai jagat jurnalisme Indonesia ini. *eeaaaa.. Ternyata aku mendapat lebih banyak informasi berharga dari kisah mereka. Inilah penemuanku :

*Kami berempat ternyata sama-sama fresh graduate. Meski dari angkatan yang berbeda-beda, semuanya wisuda di bulan Agustus 2014. Apakah itu poin plus kami di tahap sebelumnya?

*Mbak W asli dari Padang. Ia kuliah D3 sastra Inggris di UNS. Lanjut S1 di universitas yang sama dua tahun belakangan dan sudah lulus. Sastra Inggris.. bisa dibayangkan mudahnya ia mengerjakan tes TOEFL sebelum ini. Republika hanya salah satu pekerjaan yang ia lamar di antara pekerjaan lainnya setelah lulus. Belum memiliki pengalaman terjun di media, pun tidak begitu sering mengamati berita. Saat ditanya tentang Republika, beliau bilang sempat kebingungan. Sepertinya, ada skill istimewa lainnya dari beliau sampai bisa mencapai tahap ini.

*H angkatan dari Sastra Indonesia UGM. Pernah ikut organisasi fakultas di awal perkuliahan, setelah itu tidak lagi. Tipe orang pemikir dan pendiam, dari sekilas perkenalan kami. Dari ceritanya, sehabis lulus ia juga mengisi kegiatan dengan menerjemahkan sebuah buku politik (dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia) dan menulis cerita. Mungkin calon buku atau novel karyanya. Baginya, pekerjaan jurnalis tidak untuk selamanya. H bilang, “wartawan sekarang bukan lagi memburu berita, tapi membuat berita.” Dari penjelasannya itu aku seperti menangkap, “bertahan berapa lama menjadi jurnalis, lihat dulu nanti keadaan di dalam.”

*I. Berasal dari jurusan yang paling sesuai dengan pekerjaan jurnalis, yaitu Ilmu Komunikasi. Alumni UIN Sunan Kalijaga. Semasa kuliah ia juga aktif di Arena, Pers mahasiswa UIN. Selevel Balairung UGM. Walaupun begitu I juga tidak selamanya ingin jadi jurnalis. Ia punya cita-cita melanjutkan S2 bidang Filsafat di Rusia dalam dua atau tiga tahun ke depan katanya (wow kuadrat). Selain Republika, ia juga punya niat melamar ke Jakarta Post. Entah sudah atau belum. Ada satu hal menarik dari cerita Intan saat aku tanya “gak nyoba daftar ke T****media?”. (Fyi, saat itu baru saja digelar pendaftaran perusahaan T****media group di Jogja) Dia ketawa dan kemudian bilang, “gak mungkin masuk. Itu udah ketahuan banget.” Maksudnya adalah seorang teman I ada yang pernah mengajukan berkas untuk melamar ke T****media, namun tidak ikut beberapa rangkaian tes selanjutnya dengan sengaja. Ternyata temannya tetap lolos. Menurutnya, karena temannya itu good looking. Hehehe, aku cuma bisa ikut ketawa yang agak miris.Begitukah cara perekrutan sebuah media nasional yang punya nama besar di Indonesia? *aku bertanya2 sampai sekarang*

19 September 2014

Setelah mendapat telepon lagi dari pihak Republika, berikutnya aku menjalani tes kesehatan. Tempatnya di Klinik Parahita, Jl. Dr. Soetomo. Aku belum pernah menjalani tes kesehatan sebelumnya. Mungkin ini yang biasa disebut general check up. Ada enam rangkaian pemeriksaan dalam tes kesehatan ini. Keseluruhannya butuh waktu sekitar 1,5 jam.

Sama seperti tes-tes sebelumnya, hasil tes kali ini juga tidak diperlihatkan kepada kami. Hiks. Tapi aku jadi tahu satu hal saat pemeriksaan mata. Dokter yang memeriksa memberi tahu bahwa mata kiriku silindris dan mata kananku minus ½. Wow, ini sesuatu. Selama 21 tahun aku belum pernah periksa mata dan tidak punya keluhan berarti dan aku kira mataku sehat-sehat saja.

23 September 2014

Belum ada kabar lanjutan dari Republika. Tiba-tiba HP ku berdering tanda sms masuk. Bukan juga dari Republika. Tapi dari mbak W yang sama-sama menjalani rangkaian tes bersamaku selama ini. Beliau mengabarkan sudah mendapat sms dari Republika. Selanjutnya beliau diminta datang ke kantor Republika Jakarta di hari senin pekan depannya. Alhamdulillah mbak W diterima. Semangat mbak W! XD Kataku di sms balasan untuk mbak W. Aku tulis dari hati terdalam 😉

Saat aku menulis ini adalah hari senin. Artinya tadi pagi mbak W dan teman-teman lainnya yang lolos (tidak tahu siapa saja) sudah mengikuti tahap lanjutan calon reporter di Republika Jakarta. Sementara aku belum menerima pemberitahuan diterima, maupun pemberitahuan tidak diterima sebagai calon reporter di sana. Artinya, aku memang belum bisa bergabung dengan mereka di tahun ini. Artinya lagi, aku harus melakukan persiapan yang lebih matang untuk menyambut mimpi di dunia media dan jurnalisme yang akan terwujud di waktu mendatang. InsyaaAllah. :DDD

Senin, 28 September 2014